Feature

Perjuangan Petani Kampung Bayam Menggapai Asa

September 6, 2025 min read
Warga Kampung Bayam melakukan demonstrasi di Balai Kota, Jalan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, pada Kamis (16/3/2023).(KOMPAS.com/XENA OLIVIA)

Oleh: Moh Ma'sum Yusron

Di ujung utara kota metropolitan Jakarta Utara, ada sebuah berita viral, bahkan sempat menjadi perbincangan hangat di berbagai media cetak, elektronik dan media sosial. Berita tentang polemik Kampung Susun Bayam (KSB) yang tak berkesudahan, menarik perhatian dan simpati publik. Bagaimana tidak, warga yang tergabung dalam Kelompok Tani Kampung Bayam Madani (KTKBM) harus mengalami rentetan kesewenang-wenangan. Mulai dari pengabaian berkepanjangan, diputus aksesnya atas air bersih dan listrik, fitnah di berbagai media, represifitas aparat, bahkan ketua kelompoknya mengalami kriminalisasi. Padahal yang mereka inginkan sangatlah sederhana, yaitu menagih janji dan hak yang seharusnya mereka dapatkan; ruang hidup layak dan lahan pertanian untuk diolah komunitasnya. 


“Kampung bayam…!” sontak Furkon, ketua Kelompok Tani Kampung Bayam Madani menyemangati anggotanya. “Pulang ke rumah…!” serentak anggotanya membalas seruan itu. Enam (6) tahun telah mereka lalui bersama, untuk memperoleh ruang hidup dan penghidupan sebagai petani kota. Sekarang, buah manis perjuangan telah mulai mereka rasakan. Harapan untuk tinggal di Kampung Susun Bayam, serta bercocok tanam di lahan yang ada di kawasan Kampung Susun Bayam, kini bukan sekedar menjadi angan-angan. Impian itu telah menjadi kenyataan. 


Akar Sejarah Kampung Bayam

Kampung Bayam berawal pada 1960-an, ketika generasi pertama warga mendapat izin Gubernur Ali Sadikin untuk tinggal dan mengolah lahan kosong di Papanggo, Tanjung Priok. Mereka menanam sayur, memelihara ternak, dan membangun komunitas petani kota. Namun seiring waktu, banyak pihak mengklaim kepemilikan lahan. Preman pun kerap diutus untuk mengusir warga. Meski demikian, mereka bertahan dengan dasar izin resmi dari Gubernur.

Kini, sebagian besar petani merupakan generasi kedua. Hanya satu orang dari generasi pertama yang masih hidup, Bapak Daud Bureni. Pada 1987, Gubernur Wiyogo Atmodarminto menata kawasan itu menjadi Taman BMW (Bersih, Manusiawi, Berwibawa). Dua dekade kemudian, lokasi ditetapkan sebagai lahan pembangunan stadion internasional.

Konflik besar muncul sejak 2008 di era Fauzi Bowo. Warga menghadapi penggusuran, pembakaran, hingga pembuangan sampah ke kebun. Namun mereka tetap bertahan, menolak tercerabut dari tanah yang digarap puluhan tahun. Saat Joko Widodo menjadi Gubernur, pembangunan stadion hanya sampai peletakan batu pertama karena perlawanan warga.

Titik balik terjadi di masa Anies Baswedan (2019). Warga diajak bernegosiasi: stadion tetap dibangun, sementara mereka ditata dalam hunian baru tanpa kehilangan identitas sebagai petani kota. Kesepakatan ini melahirkan Jakarta International Stadium (JIS) diiringi pembangunan hunian vertikal Kampung Susun Bayam (KSB) di sampingnya.Sambil menunggu, warga menempati hunian sementara di Jalan Tongkol, Ancol. Warga menempati hunian sementara ini, mulai 21 Juni 2021. Mereka menempati lahan Pemerintah DKI Jakarta, dengan biaya pembangunan swadaya dari hasil santunan.

Pada 12 Oktober 2022, KSB diresmikan. Warga bersyukur, mengira segera bisa kembali. Namun pasca lengsernya Anies, pembangunan mandek. PT Jakarta Propertindo berhenti berkomunikasi, bahkan menuding warga telah menerima kompensasi, padahal yang diterima hanya santunan sementara. Dari sinilah polemik panjang Kampung Susun Bayam dimulai.


Pendudukan KSB Hingga Kriminalisasi

Warga Petani Kampung Bayam Madani menempati hunian sementara sejak tahun 2020. Proses pembangunan KSB waktu itu, kurang lebih selama dua (2) tahun, diresmikan pada 12 Oktober 2022. Namun karena diabaikan, tidak ada kejelasan informasi, dan justru penanggung jawab dari Jakpro tidak lagi bisa dihubungi, akhirnya warga kehabisan kesabaran.

13 Maret 2023, KTKBM tak tahan menunggu, warga KTKBM dikomandoi Furkon nekat menduduki KSB. Alih-alih disambut dialog, mereka menghadapi intimidasi: listrik dan air diputus, dan dibiarkan begitu saja hingga satu setengah (1,5) tahun. Berbagai upaya dilakukan oleh KTKBM, namun tak kunjung mendapatkan jawaban positif dari Pemrov DKI jakarta (yang saat itu dipimpin oleh Pj Gubernur Heru Budi) maupun PT. Jakpro. Alih-alih membuka ruang dialog, justru fitnahan, represifitas, dan intimidasi dialami oleh warga KTKBM di KSB. Bahkan selepas Pra Mediasi yang diupayakan oleh Komnas HAM RI, Furkon selaku ketua KTKBM dikriminalisasi. Dijemput paksa aparat polisi tak berseragam, dan diseret bagaikan penjahat kriminal yang tertangkap basah. Furkon dengan kesal menceritakan, 

”saat itu saya lagi ngetik dokumen untuk perjuangan berikutnya, sambil menunggu waktu buka puasa. Saat terdengar adzan maghrib, belum sempat buka puasa, dari belakang puluhan orang masuk ke rumah dan menyeret paksa saya ke dalam mobil, ternyata mereka adalah aparat kepolisian. Saya berontak pun tak kuasa, karena kalah jumlah dan tenaga. Pasrah lah saya diseret-seret waktu itu”.

Penangkapan paksa ini menurut kuasa hukum Furkon sangat cacat prosedur. Tanpa ada surat penangkapan yang ditunjukkan, proses penyidikan tertutup dan secepat kilat diputuskan sebagai tersangka, dengan pasal-pasal tidak jelas. “Saat itu jelas aparat kepolisian cacat prosedur menangkap Furkon. Pasal yang dijatuhkan kepada Furkon pun tidak masuk akal dan tidak ada bukti yang jelas. Furkon dijatuhi pasal Pencurian (yang didalilkan penyidik adalah mencuri air bersih), pasal Penyerobotan Aset (padahal KSB adalah hak bagi Furkon cs yang tidak segera diberikan), dan pasal Pengrusakan (tidak ada bukti kerusakan yang konkret)”. Terang Wisnu Dwi Anggoro, SH., selaku kuasa hukum Furkon.

Pada 21 mei 2024, tepat saat peringatan 25 tahun Reformasi, warga KTKBM yang saat itu masih menduduki KSB, diusir paksa oleh 500-an aparat gabungan. Situasi sempat mencekam. Adu mulut dan saling dorong tidak terhindarkan. Menjelang petang, negosiasi dilakukan, karena melihat tiga warga sudah jatuh pingsan kelelahan. Salah satu hasil negosiasinya adalah, warga berkenan meninggalkan KSB dan kembali ke hunian sementara, asalkan saat itu juga Furkon, ketua KTKBM dibebaskan dari penjara. Benar, sekitar pukul 19.00, Furkon dibebaskan, dan warga mulai dipindahkan ke hunian sementara yang ada di Jalan Tongkol, kelurahan Ancol.


Masa Penantian di Huntara

Meski di hunian sementara (Huntara), petani Kampung Bayam tidak sedikit pun menyerah. Mereka tetap bercocok tanam dengan lahan yang sangat terbatas. Meski demikian, dengan kemampuan yang mereka punya, lahan sempit pun bisa dimaksimalkan dengan baik. Seperti yang diutarakan Furkon, “bagi kami, lahan 1 meter sangatlah berharga, dan kami bisa gunakan lahan 1 meter itu untuk menghasilkan hasil pertanian setara dengan 5 meter”. Ucapan ini membuat orang yang mendengar jadi merinding sambil tercengang. Merinding karena begitu kerasnya keyakinan petani Kampung Bayam ini untuk melanjutkan pertanian sebagai sumber penghidupan. Tercengang keheranan, karena memang hampir tidak ada yang mustahil ternyata bagi rakyat petani ketika ia diberikan akses atas tanah.

Selama di Huntara, petani Kampung Bayam memulihkan perekonomiannya, setelah lama berkonflik keras dan melelahkan. Masa pemulihan ekonomi ini sembari menanti kebijakan baru dari Pemerintah yang diharapkan pro terhadap mereka. Namun mereka juga bersiap sedia, ketika Pemerintah enggan mengeluarkan kebijakan yang memihak, mereka akan mengolah lahan di Huntara semaksimal mungkin, sebagai sarana bertani untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Tak kurang akal, mereka mengatur sedemikian rupa lahan yang tersedia, untuk dapat dipergunakan ke dalam 2 kelompok. Lahan untuk menanam tanaman pangan sehari-hari, seperti sayur mayur, yang sekaligus dapat diolah dan dijual, adapula lahan yang digunakan untuk menanam tanaman dan ikan, yang sifatnya bisa menjadi simpanan jangka menengah. “Dengan bertani dan ternak ikan seperti ini, kami tidak takut kekurangan atau miskin”, tegas Furkon.

Kurang lebih setahun di Huntara, Furkon dan para anggotanya dijenguk oleh para kontestan Pilkada 2024. Semuanya menjanjikan akan mengembalikan Furkon dan kelompoknya ke Kampung Susun Bayam kembali. Furkon tak banyak komentar terhadap mereka, sambil berkata, “kami butuh bukti, bukan sekedar janji”. Alhasil setelah Pramono-Rano Karno dinyatakan menang, komitmennya untuk mengembalikan KTKBM ke Kampung Susun Bayam ditagih oleh Furkon cs. Perjuangan kembali dilancarkan, kali ini dengan menekan Pram-Rano agar merealisasikan janjinya.


Pulang Ke Rumah; Kampung Susun Bayam

Awal tahun 2025, Pram-Rano dilantik. Tak lama kemudian, Furkon cs diundang untuk audiensi multipihak, termasuk dengan PT. Jakpro. Berbagai argumentasi para pihak dilontarkan. Untungnya pihak Pemerintah bisa mengambil jalan tengah, yang cukup memihak Furkon cs. “Waktu itu, tanggal 28 Februari 2025 kami audiensi di DPRD DKI Jakarta. Semua pihak hadir, dan alhamdulillah apa yang kami minta bisa dicarikan jalan tengah”. Ucap Furkon.

Pada 6 Maret 2025, akhirnya penyerahan kunci secara simbolis dilakukan. Harapan untuk pulang ke Kampung Susun Bayam terasa semakin dekat. Pram-Rano turut hadir secara langsung melakukan penyerahan kunci Kampung Susun Bayam kepada warga KTKBM. Sisanya, Pram-Rano akan serahkan kepada Tim yang ditugaskan, agar warga segera balik ke Kampung Susun Bayam. Tak hanya itu, menurut keterangan Tim Advokasi KTKBM, Yusron, warga akan dilibatkan dalam kerjasama pengelolaan Stadium Tour dan Agrowisata. “warga akan mendapatkan pendapatan lebih, ketika nanti Agrowisata dan Stadium Tour dijalankan bersama Jakpro”.

Proses administrasi, hingga teknis dipersiapkan bersama. Proses ini berlangsung cukup lama, bahkan seringkali memicu perlawanan lagi dari warga. Furkon menjelaskan, “Jakpro dan Tim Gubernur ini kadang masih harus dikejar-kejar agar bekerja cepat”. Barulah pada 1 Agustus 2025, Furkon cs menandatangani Perjanjian Sewa Menyewa Kampung Susun Bayam. Secara hukum, akhirnya sah, warga KTKBM bisa kembali ke Kampung Susun Bayam.

Setelah penandatanganan, warga bergegas menata kembali lahan pertanian yang ada di kawasan Kampung Susun Bayam. Lahan seluas 3000 meter persegi, akan diolahnya menjadi lahan pertanian kota alami secara kolektif. “Tidak ada kepemilikan individu, lahan pertanian ini diolah bersama”, ucap Furkon. Perlahan-lahan tanaman yang ada di Huntara dibawa ke Kampung Susun Bayam. Saat ini, giliran barang perabot rumah tangga dan mulai menempati Kampung Susun Bayam.

“Alhamdulillah, perjuangan panjang dan penuh duka lara kami menemui ujungnya. Kami, telah pulang ke rumah. Rumah yang kami impikan, dengan lahan pertanian yang kami garap secara gotong royong, karena kami semua, 35 KK ini sudah seperti keluarga”. Ujar Furkon sambil berkaca-kaca. Saat ini, di kawasan Jakarta International Stadium, terlihat di sisi kanannya lahan hijau, penuh dengan sayur mayur. Tersedia pula 10 kolam ikan ukuran masing-masing 6 x 4 meter. Sayur mayur dan ikan ini nantinya akan dikelola untuk keluarga petani di kelompoknya, dan dijual ke masyarakat luas. Bahkan Pemerintah rencananya juga akan mengarahkan Perumda Pasar Jaya untuk mengambil langsung hasil panen KTKBM.

“Semua ini adalah hasil perjuangan yang harus kami maksimalkan untuk memberitahukan kepada Pemerintah dan semua orang, bahwa di Jakarta, masih ada petani kota yang siap sedia mendorong kedaulatan pangan dan merawat lingkungan”. Tandas Furkon.

Share this article

Help spread the knowledge